Lompat ke isi

Mazhab Hambali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mazhab Hambali atau Al-Hanabilah (bahasa Arab: الحنابلة, translit. al-ḥanābilah) adalah mazhab fikih dalam Islam yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Hambali.[1]

Metodologi

[sunting | sunting sumber]

Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar dalam mazhab Hambali hampir sama dengan mazhab Syafi'i, hal ini dikarenakan Imam Hambali berguru pada Imam Syafi'i. Mazhab Hambali memiliki 5 dasar yang utama, yaitu:[2]

  1. Nas Al-Qur'an dan Hadis marfuk.[3][4] Bila Imam Hambali mendapatkan suatu hadis, ia kemudian berfatwa (beriftâ) dengan tidak memperdulikan keterangan-keterangan yang menyalahinya. Hal tersebut dilakukan Imam Hambali karena ia memilih untuk mengabaikan perbuatan-perbuatan yang menyalahi hadis. Imam Hambali juga tidak mendahulukan suatu pendapat, baik qiyas ataupun perkataan sahabat diatas kedudukan hadis yang shahih.[2]
  2. Fatwa Sahabat. Bila Imam Hambali mendapat fatwa atau perkataan dari seorang sahabat Rasul, dan ia tidak mengetahui pendapat sahabat lain yang bertentangan dengannya, maka ia jadikan fatwa sahabat itu sebagai hujah.[2]
  3. Pendapat Sahabat. Bila Imam Hambali mendapati adanya pendapat dari para sahabat Rasul, maka ia memilahnya dengan mempertimbangkan mana yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Hadis. Imam Hambali juga tidak meninggalkan perkataan para Sahabat untuk membuat ijtihad sendiri. Jika ada pendapat para Sahabat yang tidak sesuai atau kurang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis, maka Imam Hambali akan menerangkan kekhilafan atau kekeliruan dengan tidak menegaskan pendapat mana yang akan diambil.[2]
  4. Hadis mursal dan hadis daif.[5][6] Imam Hambali tetap mempertimbangkan hadis mursal dan hadis daif apabila tidak didapati keterangan-keterangan yang menolak hadis tersebut. Bagi Imam Hambali berhujah dengan hadis daif tidak masalah, selama hadis daif tersebut tidak bathil, tidak munkar, dan tidak ada perawi-perawinya yang dituduh dusta. Bagi Imam Hambali melihat dan merujuk pada hadis mursal dan hadis daif lebih utama dari kias.[2]
  5. Kias. Imam Hambali menggunakan kias bila dalam keadaan mendesak atau darurat saja. Kondisi darurat yang dimaksud adalah ketika ia tidak mendapati hadis (baik hadis sahih, hadis mursal, dan hadis daif) atau perkataan sahabat yang bisa dipakai. Imam Hambali juga tidak menggunakan kias bila dalil-dalil yang didapatnya saling bertentangan satu sama lain.[7]

Perkembangan

[sunting | sunting sumber]

Mazhab Hambali pertama kali berkembang di Bagdad, Irak yang mana di sanalah tempat asal Imam Hambali. Pada awal abad ke-8 atau ke-9 mazhab Hambali mulai menyebar ke kawasan Nejd, lalu kemudian ke Mesir.[8][9] Menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang mengutip dari para ulama-ulama sejarah Tasjrie', mazhab Hambali kurang banyak pengikutnya dan kurang luas persebarannya.[10][11]

Kurang luasnya penyebaran mazhab Hambali dikarenakan Imam Hambali begitu tegas bepegang teguh pada riwayat, dan tidak mau berfatwa jika tidak berlandaskan pada nash Al-Qur'an dan hadis marfuk. Selain itu, Imam Hambali juga sangat sedikit melakukan ijtihad, ia juga menggunakan kias hanya ketika terpaksa saja.[12]

Menurut Muhammad Hasbi Ash' Shiddieqy, pendirian Imam Hambali tegas itulah yang sebenarnya membuat ia berbeda dengan imam-imam mazhab yang lain. Walaupun imam-imam yang lain menggunakan kias juga disebabkan karena tidak menemukannya dalam nas Al-Qur'an dan Hadis. Pendirian Imam Hambali ini pula yang membuat ia menjadi imam mazhab yang paling banyak mengumpulkan hadis diantara imam mazhab yang lain.[13] Beberapa ulama mazhab lain pun, juga terkadang melihat mazhab Hambali untuk menemukan beberapa hadis yang sesuai untuk perkara-perkara tertentu.[14]

Mazhab Hambali kemudian menemukan momentumnya untuk tumbuh dan berkembang ketika Arab Saudi berdiri. Kerajaan Arab Saudi yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Saud berdiri di kawasan Hijaz dan Nejd bermazhab Hambali. Karena pengaruh pemerintahan Arab Saudi yang menggunakan mazhab Hambali, maka mazhab ini kemudian mulai mendapatkan kedudukan yang istimewa di masyarakat, khususnya di Arab Saudi.[15]

Murid-Murid Imam Hambali

[sunting | sunting sumber]

Meskipun tidak berkembang di wilayah yang luas, Imam Hambali tetap memiliki banyak murid. Beberapa murid Imam Hambali yang termasyhur antara lain:[1]

  1. Ishâq At-Tamimy, yang terkenal dengan nama Abu Ya'kub Al-Kausadj.
  2. Muhammad Ibn 'Abdullah Al-Baghdady, yang terkenal dengan nama Hamdan.
  3. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hani 'Ath Thâiy, yang terkenal dengan nama Abu Bakar Al-Atsram.
  4. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Al-Hadjdjadj Al-Mawarzy.
  5. Ishâq Ibn Ibrahim, yang terkenal dengan nama Ibn Rahawaih Al-Mawarzy.
Sampul depan kitab Al-Musnad karya Imam Hambali yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, dipublikasikan oleh penerbit Maktabae Rehmania di Lahore, Pakistan.

Para murid Imam Hambali juga memiliki murid-murid yang tersohor, dua diantaranya adalah; 'Umar Ibn Al-Husain atau yang dikenal dengan nama Abul Qâsim Al-Chiraqy dan Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hârun yang dikenal juga dengan nama Abu Bakr Al-Challâal.[1]

Kitab-Kitab

[sunting | sunting sumber]

Sebenarnya Imam Hambali melarang murid-muridnya untuk mencatat fatwa-fatwa yang ia katakan, hal ini dikarenakan Imam Hambali khawatir fatwanya akan menjadi panduan fikih yang umum dan tetap untuk segala zaman. Imam Hambali juga khawatir jika diantara fatwa-fatwanya ada yang keliru dan sudah diubah dengan fatwa-fatwa yang lain.[16]

Meskipun melarang muridnya untuk mencatat perkataannya, Imam Hambali tetap menulis kitab hadis yang diberinama Al-Musnad atau yang dikenal juga dengan nama Musnad Ahmad. Kitab tersebut berisi 40.000 hadis.[17] Imam Hambali berkata dalam musnadnya:

"Aku telah kumpulkan dalam Musnad ini segala hadis Nabi. Tidak ada di dalam kitabku, hadis yang tidak dapat dijadikan hujah."[16]

Al-Musnad ini adalah kitab hadis yang terbesar diantara kitab-kitab fikih mazhab lainnya. Selain itu kitab Al-Musnad ini juga adalah kitab hadis terbesar yang masuk dalam percetakan modern.[18]

Pada periode awal mazhab hanbali, banyak diantara murid-murid Imam Ahmad yang membukukan pendapat-pendapat ia dalam kitab-kitab masail, diantaranya karya Imamd Abu Dawud. Adapun kitab-kitab mazhab hanbali yang populer pada periode ini diantaranya Jami' Ar-Riwayat karya Imam al-Khallal dan al-Mukhtashar al-Khiraqi. Jami' Ar-Riwayat merupakan himpunan pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, sedangkan Mukhtashar al-Khiraqi berisi hasil ijtihad Imam Al-Khiraqi dalam menguatkan salah satu dari sekian pendapat Imam Ahmad dalam suatu bab.

Pada periode berikutnya (pertengahan), para ulama hanabilah mulai menyusun ushul fikih mazhab hanbali, diantaranya Al-Qadi Abu Ya'la. Mukhtashar al-Khiraqi dijabarkan oleh Syaikhul Islam al-Muwaffaq Ibnu Qudamah dalam syarahnya, al-Mughni. Al-Mughni merupakan salah satu karya terbesar di kalangan para ulama Hanabilah yang berisi perbandingan pendapat antar mazhab, baik yang empat maupun yang lainnya. al-Muwaffaq juga menulis kitab al-'Umdah, al-Muqni' dan al-Kafi yang merupakan satu rangkaian kurikulum bertingkat. Keluarga Qudamah bin Miqdam juga berandil besar melalui kitan 'Umdah al-Ahkam karya al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi yang berisi hadits-hadits hukum.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 67.
  2. ^ a b c d e Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 84.
  3. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 171. : "Al-Marfu' menurut bahasa: isim maf'ul dari kata rafa'a (mengangkat), dan ia sendiri berarti "yang diangkat". Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.".
  4. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 172. : "Hadits marfu' menurut istilah adalah "sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum, baik yang menyandarkan itu sahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi' (terputus).".
  5. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 129. : "Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua macam yaitu lahiriah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah dhaif maknawiyah.".
  6. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 129. : "Hadits Dhaif menurut istilah adalah "hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan.".
  7. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 85.
  8. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 67. : "Ia masuk ke Mesir di ketika pemerintahan Fathimiyah dan Ayyubiyah.".
  9. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 68. : "Di Mesir dan Irak tidak seberapa banyak orang yang bermazhab Hambali.".
  10. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 67. : "Adapun sebab kekurangan pemeluknya, kurang luas sebarnya, ialah: lantaran Imam Ahmad keras berpegang kepada riwayat dan keras menahan diri dari berfatwa dengan yang bukan nash.".
  11. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 68. : "Adapun sebab yang terpenting bagi kekurangan maju mazhab Ahmad ialah: tiada mendapat perhatian dari sesuatu badan kekuasaan.".
  12. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 67. : "Perasaan yang tersebut ini tumbuh karena ulama-ulama yang telah memakai sesuatu mazhab yang lain dari mazhab Ahmad, melihat bahwa untuk mencukupi keperluan masyarakat, mereka perlu melaksanakan qiyas dengan luas,".
  13. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 68. : "Pendirian (Imam) Ahmad yang semacam itu pula, menyebabkan ia bersungguh-sungguh benar mengumpulkan hadis Nabi dan perkataan Sahabat. Dengan kesungguhan yang tersebut dapatlah (Imam) Ahmad memenuhi hajar masyarakat, hajat manusia dengan tidak usah banyak memakai kias.".
  14. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 68. : "Ulama-ulama Tasjrie' di negeri-negeri yang telah maju ilmu pengetahuan, seperti Mesir, Beirut dan lain-lainnya, kerap kali menoleh kepada mazhab Hambali untuk memperoleh sesuatu hadis yang dapat dipakai menjadi pedoman, atau pegangan dalam menetapkan sesuatu hukum yang dihayati masyarakat baru,".
  15. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 68.
  16. ^ a b Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 77.
  17. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 77. : "Imam Ahmad meninggalkan untuk kita, kitab yang menjadi dasar.".
  18. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 77. : "Musnad (Imam) Ahmad ini, adalah sebesar-besarnya kitab hadis yang sampai kepada kita dan yang terkenal di kalangan para ulama hadis. Dialah kitab hadis yang paling besar yang telah masuk ke dalam percetakan.".

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
  • Al-Qaththan, Syaikh Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013.